Pesantren Persis 138 Cikijing memandang bahwa seluruh ilmu baik agama maupun umum bersumber dari Allah ﷻ dan memiliki kemuliaan yang sama selama mengantarkan manusia kepada pengenalan dan ketaatan kepada-Nya. Ilmu bukan sekadar alat intelektual, tetapi sarana pengabdian (‘ubudiyyah) dalam menjalankan amanah kekhalifahan di muka bumi.
Allah ﷻ berfirman:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.” (QS. Al-Baqarah: 31)
Ayat ini menunjukkan bahwa seluruh pengetahuan hakikatnya adalah karunia Ilahi, yang mengandung nilai tauhid dan amanah. Oleh karena itu, Pesantren Persis 138 Cikijing menempatkan ilmu-ilmu pokok agama seperti tauhid, fikih, Al-Qur’an, dan akhlak sebagai fondasi utama pembentukan kepribadian santri, sementara ilmu-ilmu umum diposisikan sebagai penjelas dan penguat atas kebenaran wahyu, serta sebagai wasilah untuk menjalankan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menegaskan bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu yang mendekatkan manusia kepada Allah, sedangkan ilmu duniawi yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat juga bernilai ibadah jika diniatkan dengan benar. Pandangan ini sejalan dengan prinsip integratif yang dikembangkan di Pesantren Persis: “agama sebagai ruh, dan ilmu sebagai amal.”
Dalam konteks peradaban modern, mengembalikan kejayaan Islam menuntut adanya Islamisasi ilmu yakni upaya memandang dan mengembangkan seluruh disiplin ilmu umum dengan cara pandang Islam (Islamic worldview). Sebagaimana dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas (1978), Islamisasi ilmu berarti “menyucikan ilmu dari pengaruh sekularisme dan mengembalikannya kepada nilai-nilai tauhid.” Dengan demikian, ilmu pengetahuan modern tidak hanya menjadi alat eksplorasi dunia, tetapi juga sarana ibadah dan pembentukan peradaban yang berkeadaban (civilized society).
Pandangan ini juga diperkuat oleh Ismail Raji al-Faruqi yang menegaskan bahwa “tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia, selama keduanya diarahkan untuk kemaslahatan dan pengabdian kepada Allah.” Integrasi inilah yang ingin diwujudkan dalam sistem pendidikan Pesantren Persis 138 Cikijing menjadikan ilmu umum sebagai tafsir terhadap kebesaran Allah, dan ilmu agama sebagai kompas moral yang menuntunnya.
Dengan demikian, pendidikan di Pesantren Persis 138 Cikijing tidak hanya bertujuan melahirkan santri yang berilmu, tetapi juga beradab, beriman, dan berfungsi insan yang mampu menautkan kecerdasan rasional dengan kesucian spiritual, sehingga ilmu yang dipelajarinya benar-benar menjadi cahaya bagi diri dan maslahat bagi umat. Wallahu alam
_askar_
