Dalam pendidikan modern, kemampuan berpikir kritis dianggap sebagai keterampilan dasar yang harus dimiliki setiap pelajar. Pesantren pun tidak dapat mengabaikan kebutuhan ini, karena santri hidup dalam dunia yang menuntut analisis, kemampuan membaca persoalan, dan kecerdasan melihat perbedaan pandangan. Namun dalam pendidikan Islam, akal tidak berdiri sendiri; ia berjalan bersama wahyu dan diikat dengan adab.
Al-Qur’an mendorong manusia untuk berpikir, sebagaimana dalam firman-Nya tentang tanda-tanda penciptaan langit dan bumi. Namun pada saat yang sama, Al-Qur’an juga menegaskan bahwa ketika Allah dan Rasul telah menetapkan hukum, maka tidak ada ruang bagi pilihan lain. Inilah batas antara ruang berpikir dan ruang tunduk. Dalam hadis, Rasulullah ﷺ mengingatkan agar seorang mukmin menjaga ucapan dan sikap, sebuah isyarat bahwa akal harus dibimbing, bukan dilepas bebas.
Para ulama menempatkan akal secara proporsional. Imam Al-Ghazali menyebut akal sebagai anugerah besar, tetapi bisa menyesatkan bila digunakan tanpa bimbingan wahyu. Ibnu Taymiyyah menegaskan bahwa akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan syariat, karena wahyu turun untuk meluruskan cara berpikir manusia, bukan untuk mengekangnya secara buta. Karena itu, persoalan akidah dan ibadah harus diterima dengan iman dan adab, sedangkan persoalan muamalah dan sosial dapat dikembangkan melalui nalar kritis.
Dalam tradisi pesantren, keseimbangan ini sudah menjadi bagian penting dari pembelajaran. Santri dilatih untuk memahami perbedaan fikih, menimbang pendapat ulama, dan mencari hikmah. Namun mereka juga diajarkan bahwa pokok akidah dan ibadah adalah wilayah yang tidak boleh dinilai dengan logika kritis spekulatif. Ustadz dan guru berperan memandu batas ini, sehingga santri tumbuh dengan akal yang tajam dan iman yang kokoh. Berpikir kritis bukan untuk menggugat ajaran, tetapi untuk memperdalam pemahaman. Di atas fondasi ini, santri akan mampu merespons tantangan zaman tanpa kehilangan pegangan, mengembangkan kecerdasan tanpa merusak keyakinannya, dan menjadi pribadi yang matang dalam berpikir namun tetap merendah dalam beriman. Wallahu Alam
Askar_
