Kesalahan Memaknai Tujuan Hidup: Antara Bahagia dan Bermakna

Artikel
Sharing is caring

Dalam berbagai media sosial, kita sering mendengar kalimat seperti “Yang penting hidup bahagia,” atau “Kerja keraslah agar bisa hidup tanpa tekanan.” Ungkapan ini sekilas tampak positif, namun tanpa disadari, ia sedang membentuk paradigma baru dalam kehidupan generasi muda bahwa tujuan hidup adalah kebahagiaan semata.
Paradigma ini membawa dampak besar. Banyak anak muda kini mengukur keberhasilan dari seberapa senang hidupnya, seberapa banyak uang yang dimiliki, dan seberapa “bebas” ia dari tekanan. Dalam dunia pendidikan, orientasi ini mulai tampak, siswa belajar bukan untuk menjadi insan berilmu dan bermanfaat, tetapi agar bisa “sukses dan bahagia.” Padahal, kebahagiaan bukanlah tujuan akhir hidup, melainkan hasil sampingan dari hidup yang bermakna.
Psikolog Viktor E. Frankl, dalam bukunya Man’s Search for Meaning, menulis bahwa manusia bisa bertahan dalam penderitaan apa pun selama ia memiliki makna dalam hidupnya. Sebaliknya, hidup yang tanpa makna akan terasa hampa sekalipun penuh kesenangan. Frankl menyebut bahwa “tujuan hidup bukanlah untuk bahagia, tetapi untuk menemukan makna yang menjadikan kita layak untuk hidup.”
Dalam perspektif Islam, hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ayat ini menegaskan bahwa orientasi hidup seorang Muslim bukanlah mencari kebahagiaan duniawi, tetapi mencari ridha Allah melalui ibadah dalam arti luas — termasuk belajar, bekerja, dan berbuat baik untuk sesama. Dari sini tampak bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang memiliki orientasi ketuhanan dan kemanusiaan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menyatakan bahwa kebahagiaan sejati (as-sa‘ādah al-ḥaqīqiyyah) tidak diukur dengan kesenangan duniawi, tetapi dengan kedekatan kepada Allah dan kebermanfaatan bagi makhluk-Nya. Maka, pendidikan Islam seharusnya tidak hanya menyiapkan anak didik agar “bahagia” secara duniawi, tetapi agar menjadi insan yang bermakna, berilmu, dan berakhlak.
Dalam konteks pendidikan modern, inilah yang disebut meaning-based education pendidikan yang menumbuhkan kesadaran tentang tujuan hidup, nilai, dan tanggung jawab sosial. Guru dan orang tua berperan untuk menanamkan orientasi hidup yang tidak egoistik, tetapi berlandaskan pada nilai-nilai kebermanfaatan.
Hidup yang berorientasi pada kebahagiaan pribadi akan melahirkan generasi yang mudah kecewa, mudah menyerah, dan kehilangan arah saat tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Sebaliknya, hidup yang berorientasi pada makna akan melahirkan ketangguhan, keikhlasan, dan kebijaksanaan dalam menghadapi ujian.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad)
Inilah hakikat tujuan hidup dalam Islam bukan sekadar bahagia, tetapi bermanfaat dan bermakna. Maka, tugas dunia pendidikan bukan sekadar menyiapkan siswa untuk “hidup bahagia,” tetapi untuk “hidup berarti.” Karena kebahagiaan sejati justru lahir dari makna yang dijalani, bukan dari kesenangan yang dikejar.
_aSKAR_


Sharing is caring

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *