Ketika Santri Ingin Pulang: Antara Rindu, Adaptasi, dan Ujian Kemandirian

MTs Persis Sindang
Sharing is caring

Ada fenomena unik yang sering terjadi di dunia pesantren:
santri yang sehari-hari tampak baik-baik saja, belajar dengan semangat, tertib dalam kegiatan,

 bahkan tampak betah
tiba-tiba berubah saat dijenguk orang
tuanya.Raut wajah yang biasanya ceria, mendadak sendu. Cerita yang biasanya penuh semangat, berubah menjadi keluhan dan alasan ingin pulang.
Fenomena ini bukan tanda bahwa anak tidak betah, tetapi tanda bahwa ikatan emosional antara anak dan orang tua masih sangat kuat. Dalam psikologi perkembangan, hal ini disebut emotional recall ketika pertemuan dengan sosok yang sangat dirindukan membangkitkan kembali kenangan kenyamanan, kehangatan, dan rasa aman di rumah.
Namun di sinilah sering terjadi kekeliruan.Anak menafsirkan rasa rindu sebagai tanda “tidak cocok di pesant
ren”.
Orang tua menafsirkan cerita anak sebagai “pesantren tidak nyaman”.
Padahal yang terjadi hanyalah proses adaptasi emosi yang sedang diuji,rindu bukan tanda gagal, tapi bagian dari proses kemandirian.
Dalam pandangan Islam, perjalanan mencari ilmu memang menuntut perjuangan.Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Jalan menuju surga itu tentu tidak sel
alu nyaman. Ia penuh latihan sabar, jauh dari kemudahan yang biasa dinikmati di rumah.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin mengingatkan bahwa pendidikan sejati bukan hanya melatih akal, tetapi juga menundukkan hawa nafsu dan membiasakan jiwa terhadap kesabaran. Maka, kehidupan asrama yang serba teratur dan terbatas justru menjadi madrasah jiwa bagi santri.
Bagi orang tua, penting untuk memahami bahwa pesantren bukan tempat memanjakan anak, tetapi tempat menempa kemandirian dan tanggung jawab.
Maka, ketika anak mengadu, jangan buru-buru menarik kesimpulan. Dengarkan, tenangkan, tapi tetap kuatkan.Karena kal
au setiap rindu dibalas dengan “pulang”, maka jiwa anak takkan pernah tumbuh menjadi tangguh.
Sebagaimana bijak pepatah Arab mengatakan:
“Man jadda wajada” siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil.
Dan kesungguhan itu tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari kemampuan bertahan di tengah rindu dan perjuangan.

Sharing is caring

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *