Fenomena yang sering kita temui di sekolah maupun pesantren santri perempuan terlihat lebih rajin dan teliti, sementara santri laki-laki tampak lebih santai namun cepat menangkap inti pelajaran bukanlah hal kebetulan. Ini adalah ekspresi alami dari dua potensi fitrah yang Allah ﷻ anugerahkan secara berbeda, namun saling melengkapi.
Menurut riset UNESCO (2020), tingkat ketekunan belajar dan partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan meningkat lebih pesat dibanding laki-laki. Psikolog pendidikan Carol Gilligan (1982) menjelaskan bahwa perempuan memiliki gaya berpikir relasional belajar dengan hati, digerakkan oleh empati, tanggung jawab, dan keinginan memberi makna sosial pada setiap pengetahuan yang diterima.
Sebaliknya, laki-laki memiliki kecenderungan kognitif yang analitis dan sistematis. Penelitian dari Stanford University (2019) menunjukkan bahwa laki-laki cenderung kuat dalam pemrosesan spasial, pemecahan masalah strategis, dan berpikir abstrak kemampuan yang banyak berperan dalam logika, kepemimpinan, dan inovasi. Mereka sering kali tidak tekun dalam hal detail, namun tajam dalam sintesis dan kesimpulan.
Islam tidak melihat kedua kecenderungan ini sebagai pertentangan, tetapi sebagai harmoni dalam sistem penciptaan.
Allah ﷻ berfirman:
“Dan tidaklah Aku ciptakan laki-laki dan perempuan melainkan sebagian mereka saling membutuhkan.”
(QS. An-Nisa: 32)
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menulis bahwa kecerdasan manusia terbagi menjadi dua kekuatan: quwwatul ‘aql (daya rasional) dan quwwatul qalb (daya hati). Ketika keduanya bersatu, lahirlah insan kamil pribadi berilmu dan berhikmah.
Pandangan ini sejalan dengan penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Madarijus Salikin, bahwa “Akal dan hati adalah dua sayap bagi manusia dalam meniti jalan menuju Allah. Bila salah satunya patah, ia tidak akan mampu terbang menuju hakikat.”
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa ilmu yang diolah akal tanpa kelembutan hati akan melahirkan kesombongan intelektual, sedangkan kelembutan hati tanpa arahan akal akan menimbulkan kelemahan dan kebingungan.
Dalam konteks pendidikan pesantren, santri perempuan biasanya unggul dalam disiplin, kestabilan emosi, dan kesabaran belajar.
Sementara santri laki-laki lebih cepat berkembang dalam kemandirian berpikir, daya kepemimpinan, dan kemampuan memecahkan masalah.
Maka, tugas pendidik bukan menyeragamkan, melainkan menumbuhkan kelebihan fitrah masing-masing menumbuhkan kelembutan perempuan agar tidak rapuh, dan menajamkan akal laki-laki agar tidak sombong.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Ketika dunia pendidikan memahami perbedaan ini sebagai kekayaan, bukan ketimpangan, maka akan lahir generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual perempuan dengan kepekaan dan ketulusan, laki-laki dengan ketegasan dan hikmah.
