Argumen Masbuk Berjamaah (secara estafet)
Salat fardu berjamaah lebih baik daripada salat menyendiri. Ketika salat berjamaah, adakalanya makmum dalam kondisi mengikuti semua rakaat imam, adakalanya dalam dalam keadaaan masbuk yaitu tidak mengikuti semua rakaat imam, sehingga wajib menambah rakaat, sebanyak rakaat yang tertinggal. Berdasarkan hadis dari sahabat Abu Qatadah berikut :
إِذَا أَتَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Jika kalian mendatangi (hendak) shalat maka mesti datang dengan tenang, apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah”. (HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/129)
Persoalannya ada pada kalimat “fa atimmu” yang artinya “maka sempurnakanlah” apakah menunjukan penyempurnaan salat bagi yang masbuk tersebut secara berjamaah atau masing-masing. Disinilah terjadi perbedaan pendapat.
Begitu juga dengan hadis yang lain, Rasulullah saw pernah masbuk bersama Mughirah bin Syu’bah karena sebab tertentu, sedangkan yang menjadi imam adalah Abdurrahman bin Auf
فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ ، فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا
“Maka ketika dia (Abdurrahman bin Auf) salam, Nabi Saw berdiri, saat yang sama akupun berdiri, lalu kami menyelesaikan rakaat yang kurang sebelumnya” (HR. Muslim, Sahih Muslim, 1/158)
Sebagaimana hadis yang pertama, persoalan yang muncul adalah apakah mereka menyempurnakan rakaat secara munfarid atau berjamaah. Sebagian kalangan diantaranya berpendapat menegaskan bahwa penyempurnaan rakaat tersebut maksudnya secara munfarid, bahkan menegaskan ketiadaan dalil masbuk berjamaah. Diantaranya yang berpendapat tersebut adalah pertama, ustaz Saeful Islam Mubarak menyatakan bahwa imam berantai belum ditemukan dasarnya (Saiful Islam Mubarak, Fikih Kontroversi 1, Menjawab Berbagai Kontroversi dalam Ibadah Sosial dan Ibadah Sehari-hari, hal 57-62). Kedua, ustaz Abdul Hakim Amir Abdat menegaskan bahwa menyempurnakan rakaat secara berjamaah termasuk bid’ah yang menyalahi sunnah (Abdul Hakim Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 190).
Adapun Dewan Hisbah pernah mengadakan sidang pada tanggal 29 September 2004 di Pesantren Ciputri Lembang tentang masalah ini dengan hasil menegaskan bahwa berjamaah kembali bagi jamaah yang masbuk merupakan sunnah Rasulullah Saw. Berikut adalah penegasan bahwa masbuk berjamaah disyariatkan dan lebih utama, berdasarkan dalil dan dalalah yang dapat dipertanggungjawabkan sekaligus bantahan kepada yang menolak kesunnahannya.
Analisis Perbandingan Matan
Analisis perbandingan matan sangat penting, karena menjadi qarinah untuk menahqiq diantara dua makna tersebut mana yang lebih tepat. Dalam Riwayat al-Baihaqi kalimatnya
فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ مَعَهُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سُبِقْنَا
“Maka ketika beliau (Abdurrahman bin Auf) salam, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdiri, saat yang sama akupun berdiri bersama beliau, maka kami menyempurnakan rakaat yang tertinggal” (HR. al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 3/132)
menunjukan bahwa keduanya lebih dekat kepada makna berjamaah. Tambahan kalimat “ma’ahu” yang artinya bersama Nabi saw menunjukan bahwa penyempurnaan rakaat tersebut lebih dekat kepada berjamaah kembali daripada munfarid. Selain itu dikuatkan oleh kalimat
فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا
“lalu kami menyelesaikan rakaat yang luput sebelumnya”
kalimat tersebut juga mengandung ihtimal (mempunyai beberapa kemungkinan makna). Namun secara zahir dan asal maknanya lebih dekat berjamaah. Misalnya kita bandingkan kalimat yang sama pada matan yang lain, misalnya matan atsar berikut :
فَرَكَعَ عَبْدُ اللَّهِ فَرَكَعْنَا مَعَهُ
“Kemudian Abdullah ruku, maka kamipun rukuk bersamanya” (HR. Baihaqi, Sunan al-Kubra, 2/245)
Matan hadis diatas menunjukan bahwa maksud kami ruku’ itu bukan sendiri-sendiri atau munfarid, tapi rukuk secara berjamaah dalam salat.
Analisis lain misalnya pencarian dan perbandingan matan terhadap kalimat yang hampir sama seperti وَكَبَّرْنَا “kami bertakbir” dan سَجَدْنَا “kami bersujud” ketika salat menunjukan dalam posisi salat berjamaah, perhatikan dua hadis berikut :
فَكَبَّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَبَّرْنَا، وَرَكَعَ فَرَكَعْنَا
Maka Rasulullah Saw bertakbir dan kamipun bertakbir, dan beliau ruku, kamipun rukuk (HR. Abu ‘Awwanah, Mustakhraj Abi Awwanah, 2/88)
Misal contoh kemiripan redaksi pada hadis yang lain
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالظَّهَائِرِ سَجَدْنَا عَلَى ثِيَابِنَا اتِّقَاءَ الْحَرِّ
“Kami pernah shalat di belakang Rasulullah Saw pada pertengahan siang (saat panas sekali), lalu kami sujud di atas baju-baju kami untuk menghindari panas.” (HR an-Nasai, Sunan al-Kubra, 1/355)
Maksud “kami bersujud” tentunya dalam konteks salat berjamaah, bukan masing-masing sujud secara munfarid.
Analisis Istishab Salat Berjamaah
Istishab atau hukum asal terkait dengan perintah salat berjamaah, dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah Saw bersabda :
وَإِذَا كُنْتُمْ ثَلاَثَةً فَصَلُّوا جَمِيعًا وَإِذَا كُنْتُمْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَلْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ
Dari Abdullah bin Masud, ia berkata, “Apabila kalian bertiga, salatlah secara berjama’ah, hendaklah salah seorang di antara kalian jadi imam.” (H.R Muslim, Sahih Muslim, 2/68)
Hadis diatas menunjukan perintah secara umum salat berjamaah, termasuk didalamnya bagi yang masbuk. Adapun terkait dengan tiga orang, bukanlah batas salat berjamaah, karena pada keterangan lain Rasulullah Saw pernah salat berdua bersama Ibnu Abbas, hanya menunjukan salah satu dari bentuk berjamaah. Berdasarkan qarinah hadis diatas, maka konteks penyempurnaan rakaat bagi yang masbuk secara asal adalah berjamaah, bukan munfarid.
Analisis Keumuman Keutamaan Berjamaah Dalam Salat Fardlu
Keutamaan berjamaah
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Salat berjama’ah itu mengungguli salat dengan 27 derajat’.” (HR Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/131)
Berjamaah secara sempurna tentu lebih baik daripada berjamaah secara sebagian. Begitu pula bagi yang masbuk, maka berjamaah kembali dengan sesama masbuk lebih baik daripada salat munfarid.
Dari hadis-hadis diatas dapat disimpulkan bahwa kalimat “kami menyempurnakan rakaat” secara asal maksudnya secara berjamaah, sehingga Rasul Saw dan Mughirah waktu itu masbuk dan membuat jamaah kembali. Adapun jika kalimat sejenis diartikan munfarid, maka mesti ada qorinah misalnya kalimat وُحْدَانًا (sendiri-sendiri) dalam hadis berikut :
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي يَوْمِ عِيدٍ، فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ، ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا
Ibnu Zubair shalat bersama kami pada hari raya di hari jum’at, di awal hari, kemudian kami berangkat untuk melaksanakan shalat jum’at, namun dia tidak keluar untuk mengimami kami, akhirnya kami shalat sendiri-sendiri (Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 1/281)
Dalam atsar diatas, Ibn Zubair tidak keluar untuk menjadi imam salat Jumat, kemudian mereka berijtihad untuk salat secara munfarid masing-masing.
Argumentasi kebolehan istikhlaf (mengganti Imam)
Dalam salat berjamaah boleh istikhlaf atau berganti imam dalam salat dengan alas an tertentu. Kasusnya ketika Rasulullah Saw sakit, beliau memerintahkan kepada Abu Bakar untuk mengimami salat, maka Abu Bakarpun menjadi imam, kemudian dalam hadis
فَلَمَّا دَخَلَ الْمَسْجِدَ سَمِعَ أَبُو بَكْرٍ حِسَّهُ ، ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ ، فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قُمْ مَكَانَكَ ، فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى جَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ : فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ جَالِسًا وَأَبُو بَكْرٍ قَائِمًا يَقْتَدِي أَبُو بَكْرٍ بِصَلاَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَقْتَدِي النَّاسُ بِصَلاَةِ أَبِي بَكْرٍ
Maka ketika Rasulullah saw. masuk mesjid, Abu Bakar merasakan kehadiran beliau, ia berusaha akan mundur, tetapi Rasulullah saw. berisyarat dengan tangan beliau agar tetap ditempat. Maka datanglah Rasulullah saw. dan berdiri di sebelah kiri Abu Bakar. Aisyah berkata : “Maka Rasululah salat sambil duduk, sedangkan Abu Bakar sambil berdiri, Abu Bakar mengikuti salat Nabi Saw dan Jamaah mengikuti salat Abu Bakar.” (HR Muslim, Sahih Muslim, 2/22)
Abu Bakar pada awalnya sebagai imam, lalu Abu Bakar bermakmum kepada Nabi Saw ketika beliau datang menjadi imam, sedangkan para sahabat yang lain mengikuti Abu Bakar. Menunjukan bolehnya istikhlaf atau berganti imam dalam salat, karena suatu alasan. Diantara alasan tersebut adalah meneruskan salat berjamaah, sehingga lebih sempurna rakaat secara berjamaah.
Masbuk Berjamaah Dalam Literatur Salaf dan Imam Mazhab
Ada tuduhan bahwa masbuk berjamaah merupakan sesuatu yang baru yang belum pernah difatwakan oleh salaf yaitu para sahabat dan tabiin.
Pernyataan tersebut adalah keliru. berikut adalah keterangan para imam dari kalangan tabiin dan mazhab yang berpendapat bolehnya masbuk berjamaah.
Pertama, Pendapat Imam Atha
عَنِ ابْنِ التَّيْمِيِّ، عَنْ لَيْثٍ قَالَ: دَخَلْتُ مَعَ ابْنِ سَابِطٍ فَسَجَدَ بَعْضُنَا وَنَهَى بَعْضَنَا لِلسُّجُودِ، فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ ابْنُ سَابِطٍ فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ، فَقَالَ: ذَكَرْتُ لِعَطَاءٍ فَقَالَ: كَذَلِكَ يَنْبَغِي…
Dari Ibn al-Taimi, dari Laits berkata : “Aku masuk Bersama Ibn Sabit, lalu Sebagian mereka bersujud dan sebagian lagi melarang untuk bersujud. Maka Ketika selesai salam Ibn Sabit berdiri (menyelesaikan rakaat) lalu meneruskan salat secara berjamaah dengan sahabatnya yang lain (sesame masbuk). Maka Aku adukan hal tersebut pada Imam Atha, beliau menjawab : Selayaknya seperti itu… (Mushannaf Abd Razaq, 2/293)
Kedua, pendapat Imam Qatadah
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ قَتَادَةَ فِي الْقَوْمِ يَدْخُلُونَ الْمَسْجِدَ فَيُدْرِكُونَ مَعَ الْإِمَامِ رَكْعَةً قَالَ: «يَقُومُونَ فَيَقْضُونَ مَا بَقِيَ عَلَيْهِمْ، يَؤُمُّهُمْ أَحَدُهُمْ وَهُوَ قَائِمٌ مَعَهُمْ فِي الصَّفِّ، يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ
Dari Ma’mar dari Qatadah, tentang segolongan orang yang masuk masjid (masbuk), kemudian mereka mendapatkan bersama imam satu rakaat. Qatadah menanggapi: “Mereka berdiri dan menyelesaikan rakaat yang tersisa. Seseorang diantara mereka menjadi Imam, sedangkan imam tersebut berdiri didepan shaf, mereka salat mengikuti salat imam tersebut” (Mushannaf Abd Razaq, 2/293)
Ketiga, dalam literatur mazhab Imam Ahmad
Perkataan “Dan jika masbuk dua orang Sebagian salat dan salah satunya menyempurnakan dengan sahabatnya dalam menyelesaikan apa rakaat yang tertinggal, maka ada dua pendapat”…Pendapat pertama memperbolehkan dan itulah yang mu’tamad dalam mazhab Ahmad, argumen didasari atas bolehnya istikhlaf (mengganti imam) (al-Inshaf fi Ma’rifah al-Rajih Minal Khilaf, 2/36)
Keempat, literatur mazhab Imam Syafii
“Apabila Imam salam, akan tetapi ada sejumlah makmum yang masbuk lalu mereka berdiri untuk menyempurnakan salat mereka, kemudian mendahulukan siapa yang menyempurnakan rakaat dengan mereka dan mereka mengikuti imam tersebut, maka ada dua pendapat….Adapun yang menjadi argumennya (bagi yang membolehkan) adalah kebolehan istikhlaf “(al-Majmu syarah al-Muhadzab, 4/244)
Kelima, mazhab Zahiri atau Imam Ibn Hazm
Dan jika masuk dua orang lalu mengikuti imam dan mereka mendapatkan Sebagian rakaat dengan imam, maka mereka telah salat bersama imam tersebut (keutamaan berjamaah). Bila imam salam, maka lebih utama mereka menyempurnakannya dengan mengangkat imam salah seorang diantara mereka, karena mereka diperintahkan untuk salat berjamaah, kalau seandainya tidak ada nash yang memerintahkan secara khusus munfarid, walaupun diperbolehkan hal tersebut (dengan lebih utama secara berjamaah, pen) (al-Muhalla, 3/156)
Dengan demikian jelaslah bahwa masbuk berjamaah bukanlah perkara baru, namun para Imam sebelumnya juga ada yang berpendapat demikian, baik dari kalangan salaf maupun para imam mazhab.
Dengan demikian kesimpulannya;
Pertama makna yang terkuat dari keihtimalan matan hadis menyempurnakan rakaat bagi yang masbuk adalah dengan berjamaah kembali, bukan secara munfarid.
Kedua, bagi yang masbuk, maka disyariatkan berjamaah kembali dan lebih utama daripada dilaksanakan secara munfarid.
Ketiga, berjamaah secara sempurna lebih baik dan lebih besar pahalanya dari sebagian rakaat saja.
Keempat, masbuk berjamaah bukanlah bid’ah tapi merupakan sunnah yang utama dibandingkan salat munfarid. Wallahua’lam.
Ginanjar Nugraha